Para ahli bertemu untuk membahas Penggunaan Obat di Negara – Negara Berkembang dalam forum tujuh tahunan “International Conference for Improving the Use of Medicines (ICIUM)”. Delapan peneliti dari Indonesia berpartisipasi dalam forum bergengsi ini.
Biaya obat yang tinggi telah mendesak 150 juta orang ke bawah garis kemiskinan setiap tahunnya di seluruh dunia. Banyak hal menarik yang terkait dengan penggunaan obat terungkap dari konferensi ini. Di negara berkembang, biaya yang dikeluarkan untuk membeli insulin bagi penderita diabetes mungkin setara dengan setengah bulan gaji mereka. Temuan di Asia menunjukkan bahwa hampir 42% dari biaya produksi obat dihabiskan oleh industri farmasi untuk memanjakan para dokter. Di Oman penggunaan antibiotik yang berlebihan telah berhasil dikurangi setengahnya sejak tahun 1995. Di Afrika Timur, pesan SMS telah dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengingatkan pasien AIDS untuk mengambil obat mereka.
Sebuah laporan kasus dari Afrika menceritakan kisah ketika Catherine Adwoa tiba-tiba pingsan, ibunya segera berpikir ia menderita AIDS. Namun dokter sebuah rumah sakit kabupaten menyatakan bahwa anak sekolah berusia 17 tahun itu menderita diabetes. Hal ini membuat si ibu lega. Tapi tidak demikian dengan ayahnya yang langsung menyadari bahwa kehidupan keluarganya tidak akan pernah sama lagi. Mulai saat itu suntikan insulin harian untuk putrinya akan mengorbankan separuh gajinya. Untuk diketahui, di sebagian besar negara-negara Afrika obat untuk AIDS telah digratiskan, namun tidak demikian untuk obat diabetes. Bahkan rumah sakit pun jarang memiliki stok insulin, sehingga keluarga pasien harus pergi ke apotek swasta untuk mendapatkan obat diabetes untuk digunakan selama sisa hidupnya; yang berarti dalam kisah Chaterine tidak akan ada uang tersisa untuk membayar biaya sekolah.
Kisah – kisah serupa terungkap dalam konferensi internasional ketiga yang membahas penggunaan obat yang aman (International Conference for Improving the Use of Medicines / ICIUM) yang dihadiri oleh lebih dari 600 peserta dari lebih 80 neara – negara berkembang. Berbagai cerita serupa dipresentasikan dan didiskusikan di forum ini, tentang bagaimana obat untuk malaria yang dapat menyelamatkan jiwa tidak tersedia di apotek – apotek di Afrika Timur, dan bagaimana secara sengaja produsen lokal terus memproduksi dan mempromosikan obat malaria yang telah dianjurkan untuk ditarik dari pasar oleh Badan Kesehatan Dunia karena menyebabkan resistensi, serta bagaimana 42% dari harga obat di suatu negara di Asia dialokasikan untuk menyuap para dokter. Fakta bahwa lebih banyak orang di negara berkembang meninggal karena penyakit kronis seperti hipertensi, asma dan diabetes, dibandingkan dengan penyakit menular seperti AIDS dan TBC juga terungkap. Sebenarnya biaya obat untuk satu tahun periode pengobatan penyakit kronis dikalkulasikan kurang dari $ 6 dolar Amerika, asalkan obat tersebut dibeli sebagai obat generik (off-patent) dan asalkan distributor lokal, apoteker dan dokter tidak menambahkan 10 atau 20 dolar lagi untuk berbagai macam biaya tambahan.. Sayangnya pemerintah di negara – negara tersebut belum berbuat banyak untuk memperbaiki keadaan tersebut.
Berbagai keberhasilan dalam upaya meningkatkan dan memperbaiki penggunaan obat juga dilaporkan di forum ini Oman telah berhasil secara drastis mengurangi penggunaan antibiotika, yaitu 60% dari semua resep pada tahun 1995 menjadi 15% dari semua resep pada tahun 2010, sehingga mengurangi berkembangnya resistensi yang merugikan pasien di masa mendatang. Di Tanzania, telah dilakukan pelatihan terhadap penjual obat, yang kemudian disebut ADDOs (Accredited Drug Dispensing Outlets – Outlet Obat Terakreditasi), untuk memastikan akses terhadap obat esensial yang berkualitas kepada pasien di daerah pedesaan. Di Afrika Timur, dimana prevalensi HIV/AIDS sedemikian tinggi, telah dilakukan pengembangan penggunaan SMS melalui telepon seluler untuk untuk mengingatkan penderita AIDS tentang jadual mengambil obat.
Dari perspektif gender, perempuan tidak memiliki kesulitan lebih dari pria dalam mendapatkan obat, meskipun masih diperlukan lebih banyak kajian di negara-negara seperti Yaman, Somalia, Pakistan dan India. Dr Anita Wagner dari Harvard University, salah satu penyelenggara konferensi, mengatakan: “Di kebanyakan negara berkembang, baik laki-laki dan perempuan memiliki akses sama buruk terhadap obat esensial.”
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation/ WHO) memperkirakan bahwa sekitar sepertiga dari penduduk dunia – sekitar 2 miliar orang – tidak memiliki akses secara reguler terhadap obat esensial. Richard Laing, koordinator program kebijakan obat esensial di WHO, menambahkan “Perkiraan baru-baru ini yang dikonfirmasi oleh survei rumah tangga di negara-negara seperti Uganda mengungkap bahwa setiap tahun, sekitar 150 juta orang tenggelam di bawah garis kemiskinan karena tingginya biaya obat yang harus mereka tanggung.”
Forum ICIUM ini diadakan setiap tujuh tahun. Konferensi sebelumnya diadakan di tahun 1997 dan 2004, keduanya di Thailand. Kali Ini ICIUM diadakan di Turki untuk memungkinkan lebih banyak delegasi dari Timur Tengah untuk berpartisipasi. Konferensi ini awalnya direncanakan berlangsung di Alexandria (Mesir) tetapi direlokasi mengingat konflik politik di wilayah tersebut. Namun demikian, lebih dari 250 peserta dari Mesir menghadiri konferensi melalui webcast (siaran lewat internet).
Delapan peneliti Indonesia diundang untuk menghadiri pertemuan bergengsi ini untuk mempresentasikan studi mereka di berbagai topik yang berkaitan dengan penggunaan obat dalam konteks Indonesia: Empathic Caring Consultation to Reduce Unnecessary Use of Analgesics (Prof. Johana E. P. Hadiyono/UGM), Compounding Polypharmacy Prescription and Impact of IT based Promotion of Rational Use of Medicine (dr. Purnamawati P. Sujud, SpAK / Yayasan Orangtua Peduli), Using CBIA-DM Strategy to Improve Diabetic Patients’ Adherence (Dra. Titien Siwi Hartayu, M.Kes., Apt./Universitas Sanata Dharma), Using CBIA-Pregnancy to Improve Skills in Selecting OTC Medicines (Sri Hidayati, S.Ked/UGM), Using CEMA-Community to Improve Skill in Evaluating Medicine Advertisements (Dra. Chairun Wiedyaningsih, Apt /UGM), Antibiotic Surveillance in ICU (dr. Zunilda Djanun M.S., SpFK/FK-UI & RSCM), Generic Medicine Pricing Policies Evaluation (Yusi Anggraini, M.Kes/ Universitas Pancasila), and Self Medication with Antibiotics (Aris Widayati, M.Si., Apt/ Universitas Sanata Dharma). Presentasi tersebut merupakan sumbangan Indonesia terhadap pengembangan metode untuk peningkatan dan perbaikan penggunaan obat secara aman.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi: ICIUM website: http://www.icium.org; Anita Wagner, Harvard Medical School, tel: +65-9003-3741; Prof Johana EP Hadiyono (INRUD Indonesia); dr. Purnamawati Sujud P., SpAK (Yayasan Orang Tua Peduli); dr. Zunilda Djanun M.S., SpFK (FK-UI & RSCM); dr. Rustamaji, M. Kes, rustamaji.farklin @ gmail.com (PSFKKO UGM); Aris Widayati, M.Si., Apt (ariswidayati@usd.ac.id).
Leave a Reply